by Admin
Iman sebagai sebuah keyakinan sering kali dikatakan atau dirasakan mengalami penurunan ataupun peningkatan. Walaupun ada beberapa kepercayaan yang mempercayai bahwa keimanan seseorang itu stagnan atau mandeg atau tidak turun naik seperti gelombang laut, namun saya akan mengabaikan keyakinan iman seperti ini. Secara umum, terutama dari masyarakat indonesia, sejauh pengalaman danpengetahuan saya, memegang keyakinan bahwa iman itu mengalami penurunan ataupenaikan.Iman yang sering di definisikan sebagai kepercayaan terhadap “sesuatu”merupakan sebuah keyakinan diri. Iman kemudian akan memberikan suatu emosional turunan atas aspek keimanan itu sendiri. Seperti contohnya ketika seseorang meyakini bahwa seseorang itu merupakan orang suci yang wajib dan harus diikuti setiap perbuatan dan perkataan, maka iman kepada kesucian “seseorang” akan membawa konsekuensi pada perilaku “pemilik iman” untuk mengkuti perilaku “orang yang disucikan”.
Keimanan pada sebuah “tulisan atau lembaran huruf-huruf” yang diyakini sebagai huruf-huruf suci dan sakral serta memiliki kebenaran “tak terbantahkan” akan menjadikan seseorang “pemilik iman” tersebut untuk menyakini bahwa setiap kalimat, setiap paragraf, setiap petunjuk, setiap cerita, setiap larangan, setiap perintah, setiap argumen, setiap gambaran, dan segala sesuatunnya, merupakan sebuah kebenaran suci yang wajib ditunduki atau diangguki. Ini tentunya akan membawa konsekuensi untuk mengikuti, mengekori, membudaki, menuruti, mematuhi, setiap hal yang ada dalam lembaran suci tersebut. Inilah inti dari keimanan. Keimanan yang utama atau inti yang dalam paragraf-paragraf diatas saya contohkan “iman terhadap orang” dan “iman terhadap kitab atau lembaran” saya sebut sebagai “ujung tombak atau pokok iman”, sedang turunannya yang berupa “perilaku atau tindakan atau aktivitas dalam mentaati perintah orang maupun kitab atau lembaran, saya sebut sebagai “kaki-kaki atau turunan iman”. Ini hanya untuk upaya pemudahan pemahaman.
Ketika Imanku mendekatiMU
Ada korelasi yang cukup kentara disini menyangkut sisi psikologi atau emosional seseorang antara yang dinamakan iman dalam diri dengan perilaku yang menyertai orang tersebut. Maksudnya adalah keimanan terhadap kitab atau yang saya sebut “ujung tombak iman”, akan memiliki korelasi emosional terhadap “kaki kaki iman”. Tentunya hal ini secara logis tidak bisa dipungkiri, karena yang kedua merupakan hal yang menjadi turunan yang pertama.
Sekarang beralih ke diri anda sendiri, terutama jika anda sekarang sedang menganut suatu keimanan tertentu. Saya disini tidak akan membicarakan bagaimana anda memperoleh “ujung tombak iman” itu, saya tidak begitu memperdulikan alasan anda. Saya juga tidak akan mempedulikan juga jika anda, secara mati-matian, akan mengungkapkan bahwa keyakinan anda merupakan sesuatu yang paling benar dan tak terbantahkan sehingga menyebabkan keyakinan orang lain anda cap sebagai keyakinan semu atau keyakinan yang salah. Apapun keyakinan anda saya tidak akan memperdulikannya. Yang menjadi pertanyaan sentral pada bagian ini adalah “Kapan anda merasa, sekali lagi merasa, sedang demikian dekat dengan “Nya”?” Nya disini bisa bermacam-macam, tergantung dari kepercayaan atau keyakinan anda. Yang paling umum “Nya” disini dihubungkan dengan “Tuhan” atau “Allah” tapi tidak menutup kemungkinan atas interpretasi yang lainnya semisal “Nya” disini sebagai “alam” atau “spiritual”.
Ketika anda merasa “dekat” dengan Nya apakah anda merasakan “kedamaian atau ketenangan”?
Sebelum anda menjawab pertanyaan saya terakhir tersebut saya akan mencoba untuk memahami situasi apa yang sedang terjadi di diri anda. Jika anda sedang berada dalam kondisi sedang “giat-giatnya” menjalankan perilaku “kaki-kaki iman” secara sistematis atau setidaknya secara teratur dan semakin banyak, dan sedang tidak direcoki oleh kepentingan “badaniah: lapar, ingin berak atau kencil, haus, dan sebagainya”, saya “pikir” anda sedang “memperoleh” sejenis “kedamaian atau ketenangan” atas buah keimanan anda. Jika anda berperilaku sebaliknya maka anda belum “merasakan” manisnya iman anda. Ya, keimanan itu manis dan indah serta mendamaikan. Asalkan anda secara maksimal mampu mengikuti “kaki kaki iman”. Terutama lagi jika anda juga sudah dihinggapi oleh problem hidup dan mati, atau anda sedang menunggu ajal. Keimanan anda, obat untuk ketenangan dan kedamaian anda. Tunaikan saja “kaki-kaki iman” anda secara konsisten, semisal “beribadah ke tempat suci” maka anda akan merasakan manisnya keimanan. Lakukan juga kemudian “kaki-kaki iman” yang lain, maka anda akan semakin merasakan manisnya keimanan.
Ketika Imaku menjauhiMU
Semakin banyak hal hal atau pengetahuan anda tentang “kaki-kaki iman” semakin sulit juga anda akan memperoleh “kedamaian” atau merasa “dekat” dengan Nya. Kenapa demikian? Karena untuk mencicipi manisnya keimanan atau mendekat pada “Nya”, anda harus semakin banyak dan semakin komplek mengikuti dan melakoni “kaki-kaki iman”. Belum lagi jika pengetahuan anda dengan “kaki-kaki iman” sering kali menemukan kontradiksi atau menemukan sesuatu yang membuat pikiran anda bertanya-tanya dan mengalami keraguan, semakin sulitlah mencapai manis dan indahnya iman. Maka tidaklah heran jika orang yang memiliki pengetahuan seambreg atau segydabg tentang “kaki-kaki iman” ini akan lebih jauh dan sulit (secara logis lho, gak tahu kalau yang sebenarnya, tanyakan saja pada mereka, he he he) untuk memperoleh manisnya “keimanan”. Anda akan merasakan bahwa anda sedang “jauh” dari “Nya” jika anda tidak
melaksanakan atau tidak menghayati “kaki-kaki iman” semakin anda jauh, apalagi tidak pernah melaksanakan “kaki-kaki iman” maka semakin anda akan “merasa” bahwa anda menjauh dari “Nya”. Ini merupakan konsekuensi psikologis logis. Secara logis, cara termudah merasakan “dekat” kepada Nya, kalau ditilik dari argumen saya diatas, adalah dengan memperoleh pengetahuan tentang “kaki-kaki iman” sesedikit mungkin, atau yang
penting-penting saja, dan melaksanakan secara konsisten dan penuh penghayatan.
Sedang cara tersulit merasakan “dekat” dengan Nya, adalah dengan memperbanyak
ilmu atau pengetahuan “kaki-kaki” iman, karena anda akan semakin dituntut untuk
melakukan “banyak” hal, sedang waktu dan kondisi anda hanya ada 24 jam sehari./
penting-penting saja, dan melaksanakan secara konsisten dan penuh penghayatan.
Sedang cara tersulit merasakan “dekat” dengan Nya, adalah dengan memperbanyak
ilmu atau pengetahuan “kaki-kaki” iman, karena anda akan semakin dituntut untuk
melakukan “banyak” hal, sedang waktu dan kondisi anda hanya ada 24 jam sehari./
Tidak ada komentar:
Posting Komentar